Kamis, 27 Desember 2012

PSIKOSOSIAL PADA MASA BAYI SAMPAI DENGAN PADA MASA TUA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Perkembangan merupakan proses perubahan secara progress baik secara fisik maupun non fisik menuju kesempurnaan. Perkembangan secara fisik merupakan perkembangan yang terjadi pada aspek-aspek biologis seorang individu. Sedangkan perkembangan non fisik didalamnya terdapat perkembangan emosi, perkembangan kognitif, dan perkembangan pada aspek sosial peserta didik. Peserta didik sebagai makhluk sosial membutuhkan peran lingkungannya atau bantuan dari orang lain untuk dapat tumbuh kembang menjadi manusia yang utuh. Dalam perkembangannya, pendapat dan sikap peserta didik dapat berubah karena interaksi dan saling berpengaruh antar sesama peserta didik maupun dengan proses sosialisasi.
Dalam psikologi perkembangan, banyak dibahas mengenai bagaimana tahap perkembangan sosial anak, diantara tokoh yang memberi kontribusi dalam hal ini adalah teori perkembangan psikososial Erik H. Erikson. Erikson mengatakan bahwa istilah “psikososial” dalam kaitannya dengan perkembangan manusia berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membuat makalah dengan memilih judul Perkembangan Tingkah Laku Sosial.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada masalah yang perlu dibahas dan dicari jawabannya.
1.    Bagaimanakah perkembangan tingkah laku sosial pada masa bayi sampai dengan perkembangan tingkah laku sosial pada masa dewasa dan tua?

1.3    Tujuan
Tujuan dari pembuatan karya tulis ini adalah untuk mendeskripsikan perkembangan tingkah laku sosial pada masa bayi sampai dengan perkembangan tingkah laku sosial pada masa dewasa dan tua.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Perkembangan Tingkah Laku Sosial Pada Masa Bayi
Perkembangan tingkah laku sosial berhubungan dengan perubahan-perubahan perasaan atau emosi dan kepribadian serta perubahan dalam bagaimana individu berhubungan dengan orang lain. Sebagaimana telah dijelaskan di atas,  masa bayi adalah masa ketika anak-anak  mulai belajar berjalan, berpikir, berbicara, dan merasakan sesuatu. Meskipun dalam pemenuhan kebutuhan bayi masih sangat tergantung kepada pengasuhnya, namun bukan berarti mereka sama sekali pasif. Sebab, sejak lahir, pengalaman bayi semakin bertambah dan ia berpartisipasi aktif dalam perkembangan tingkah laku sosialnya sendiri, mengamati dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.
Sebagai bayi yang sedang tumbuh menjadi lebih dewasa, dia memiliki kedekatan dan ketertarikan emosional dengan orang-orang yang penting dalam hidupnya. Hal ini terlihat misalnya, bayi menangis ketika didekati orang-orang yang tidak dikenalnya, dan dia menyambut hangat kedatangan ibu atau bapaknya. Lebih dari itu, bayi juga menyatakan perasaan atau kebutuhannya dengan cara-cara yang membingungkan. Misalnya ketika orang tuanya memberikan makanan tertentu, ia menolak. Tetapi ketika makanan tersebut diberikan oleh seorang baby sister, ia menerimanya dengan perasaan senang.
Perilaku demikian menunjukkka adanya dua tema utama dalam perkembangan tingkah laku sosial selama masa bayi, yaitu kepercayaan dan otonomi. Bayi mempelajari apa yang diharapkan dari orang-orang yang penting dalam hidupnya.  Mereka mengembangkan sesuatu perasaan mengenai siapa yang mereka senangi atau yang tidak mereka senangi dan makanan apa yang mereka sukai atau tidak (Seifert & Hoffnung, 1994).
Dalam uraian berikut akan dikemukakan beberapa hal penting yang berkaitan dengan perkembangan tingkah laku sosial pada masa bay, diantaranya emosi, temperamen, dan attachment (ketertarikan).
2.1.1    Perkembangan Emosi
    Emosi dapat diartikan sebagai perasaan atau afeksi yang melibatkan kombinasi antara gejolak fisiologis (seperti denyut jantung yang cepat) dan perilaku yang tampak (seperti senyuman atau ringisan).
Beberapa ahli mencoba memahami kondisi emosi bayi melalui ekspresi tubuh dan wajah. Para ahli tersebut mempercayai bahwa kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir seperti menangis, tersenyum dan frustasi.
Berdasarkan sistem klasifikasi Izard, diketahui beberapa ekspresi emosi selama masa bayi, yaitu kegembiraan tertawa diekspresikan pada usia 4 bulan, ketakutan pada usia 5 hingga 8 bulan, dan emosi-emosi yang lebih rumit seperti malu, kebingungan, rasa bersalah, cemburu, dan kebanggaan diekspresikan selama anak belajar berjalan. Secara singkat mengenai perkembangan emosi bayi ini, dapat ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut.
TABEL 2.1
Perkembangan Emosi Bayi
Umur    Umur Ekspresi Emosi
0 – 1  bulan
3 bulan
3 – 4 bulan
4 bulan
4 – 7 bulan
5 – 9 bulan
18 bulan    Senyuman sosial
Senyum kessenangan
Kehati-hatian
Keberanian
Kegembiraan, kemarahan
Ketakutan
Malu
Sumber: Izard (1982)
Ekspresi berbagai emosi tersebut mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan anak. Bretherton et al., (1981) menyebutkan 3 fungsi utama emosi bayi, yaitu (1) adaptasi dan kelangsungan hidup, (2) regulasi, dan (3) komunikasi.
2.1.2    Perkembangan Temperamen
Temperamen (tabiat, perangai) merupakan salah satu dimensi psikologis yang berhubungan dengan aktivitas fisik dan emosional serta merespon.
Kebanyakan peneliti mengakui adanya perbedaan dalam kecenderungan reaksi utama, seperti kepekaan terhadap rangsangan visual atau verbal, respons emosional, dan keramahan dari bayi yang baru lahir. Penelitian Alexander Tomas & Stella Chess (1977) misalnya, memperlihatkan adanya perbedaan dalam tingkatan aktivitas bayi, keteraturan dari fungsi jasmani (makan, tidur, dan buang air), pendekatan terhadap stimuli dan situasi baru, kemampuan beradaptasi dengan situasi dan orang-orang baru, reaksi emosional, kepekaan terhadap rangsangan, kualitas suasana hati, jangkauan perhatian.
Dari hasil penelitian ini, Alexander Tomas & Stella Chess mengklasifikasikan temperamen atas tiga pola dasar. Pertama  bayi yang bertemperamen sedang (easy babbies); menunjukkan suasana hati yang lebih positif, keteraturan fungsi tubuh, dan mudah beradaptasi dengan situasi baru. Kedua, bayi yang bertemperamen tinggi (difficult babbies); memperlihatkan suasana hati yang negatif, fungsi-fungsi tubuh tidak teratur, dan stres dalam menghadapi situasi baru. Ketiga, anak yang bertemperamen rendah (slow to warm up babbies) memiliki tingkat aktivitas yang rendah dan secara relatif tidak dapat menyesuaikan diri dengan pengalaman baru, suka murung serta memperlihatkan intensitas suasana hati yanrendah (Thomas & Chess, 1977).
Pola-pola temperamen tersebut merupakan suatu karakteristik tetap sepanjang masa bayi dan anak-anak yang akan dibentuk dan diperbaharui oleh pengalaman anak dikemudian hari. Misalnya, anak usia 2 tahun yang digolongkan secara ekstrem sebagai pemalu dan penakut, akan tetap menjadi anak yang pemalu dan penakut pada usia 8 tahun (Seifert & Huffnung, 1994). Ini menunjukkan adanya konsistens perkembangan temperamen sejak lahir. Konsistensi temperameen ini ditentukan oleh faktor keturunan, kematangan dan pengalaman, terutama pola pengasuhan orang tua.
2.1.3    Perkembangan Attachment
Bayi yang baru lahir memiliki perassaan sosial, yakni kecemderungan alami untuk berinteraksi dan melakukan penyesuaian sosial terhadap orang lain. Hal ini berkaitan dengan kondisi bayi yang sangat lemah pada saat lahir, sehingga ia sangat membutuhkan pengasuhan dari orang lain dalam mempertahankan hidupnya.
Kontak sosial pertama bayi dengan pengasuhnya ini diperkirakan mulai terjadi pada usia 2 bulan, yaitu pada saat bayi mulai tersenyum ketika memandang wajah ibunya.
Kemudian, pada saat bayi memasuki usia 3 atau 4 bulan, mereka semakin memperlihatkan bahwa mereka mengenal dan menyenangi anggota keluarga yang dikenalnya dengan senyuman, serta tetap dapat menerima kehadiran orang asing. Tetapi, pada usia kira-kira 8 bulan, muncul ”objek permanen” bersamaan dengan kekhawatiran terhadap orang yang tidak dikenal, yang disebut dengan stranger anxiety (perasaan malu terhadap orang yang tak dikenal).
Pada usia 12 bulan umumnya bayi melekat erat pada orangtuanya ketika ketakutan atau mengira akan ditinggalkan. Ketika mereka bersama kembali, mereka akan mengumbar senyuman dan memeluk orang tuanya.
Secara biologis bayi yang baru lahir diberi kelengkapan untuk memperoleh perilaku keterikatan dengan ibunya. Bayi menangis, menempel, merengek, dan tersenyum. Kemudian, bayi merangkak, berjalan perlahan-lahan, dan mengikuti ibunya. Semua tingkah laku ini tidak lain adalah untuk mempertahankan agar ibu selalu dekat dengannya. Pada waktu yang sama, ternyata ibu juga memiliki rasa ketertarikan dengan bayinya. Ketika perasaan keterikatan dengan bayi itu muncul, ibu akan terlihat suka mengajak bayinya berbicara atau bercanda, menenangkannya, mengayun-ayunkan, serta berusaha memenuhi kebutuhan bayi dengan sebaik-baiknya.
Keterikatan tidak aman pada bayi berkaitan erat dengan pola pengasuhan dari ibu yang kurang peka dan tidak responsif selama tahun pertama kehidupannya. Ibu pada bayi yang memperlihatkan keterikatan tidak aman, cenderung lebih bereaksi berdasarkan keinginan atau perasaan mereka daripada sinyal yang datang dari bayinya. Misalnya mereka bereaksi terhadap tangisan bayi hanya ketika mereka merasa ingin memeluk bayinya, tetapi akan mengabaikan tangisan bayi itu pada waktu lain. Sebaliknya, bayi yang merasakan keterikatan yang aman, cenderung memiliki ibu yang lebih peka, dan responsif terhadap kebutuhan bayinya, dapat mengekspresikan kasih sayang terhadap bayinya, serta memberikan stimulasi sosial yang lebih banyak (seperti bercakap-cakap dan bermain bersama bayinya).
2.1.4    Perkembangan Rasa Percaya (trust)
Sesuai tahap perkembangan psikososial Erikson tahun-tahun pertama kehidupan ditandai oleh perkembangan rasa percaya (trust) dan rasa tidak percaya (mistrust). Bagi seorang bayi hanya dapat dikatakan bahwa ia percaya (trusting), sebab terlalu berlebihan apabila dikatan bahwa ia mempercayakan diri sepenuhnya kepada seseorang (confidence). Lebih dari itu tambah Erikson, keadaan percaya pada umumnya mengandung tiga aspek, yaitu:
1.    bahwa bayi belajar percaya pada kesamaan dan kesinambungan dari pengasuh di luarnya;
2.    bahwa bayi belajar percaya diri dan dapat percaya pada kemampuan organ-organnya sendiri untuk menanggulangi dorongan-doronga;
3.    bahwa bayi menganggap dirinya cukup dapat dipercaya sehingga pengasuh tak perlu waspada dirugikan (Erikson, 1989)
Menurut Erikson, bukti pertama yang menunjukkan adanya kepercayaan sosial pada bayi terlihat dalam kesenangan menikmati air susu, kepulasan tidur, dan kemudahan buang air besar.
Bayi yang memiliki rasa percaya dalam dirinya cenderung untuk memiliki rasa aman dan percaya diri  untuk mengeksplorasi lingkungan yang baru. Sebaliknya, bayi yang memiliki rasa tidak percaya (mistrust) cenderung tidak memiliki harapan-harapan positif.
2.1.5    Perkembangan Otonomi
Menurut Chaplin (2002), Otonomi adalah kebebasan individu manusia untuk memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai dan menentukan dirinya sendiri. Sedaangkan Seifert dan Hoffnung (1994) menjelaskan otonomi adalah “the ability to govern and regulate one’s own thought’s, feeling, and actions freely and responsibly while overcoming feelings of shame and doubt.” Menurut Erikson, otonomi atau kemandirian merupakan tahap kedua perkembangan psikososial yang berlangsung pada akhir masa bayi dan masa baru pandai berjalan. Otonomi dibangun di atas perkembangan kemampuan mental dan kemampuan motorik. Pada tahap awal ini, bayi tidak hanya dapat berjalan, tetapi mereka juga dapat memanjat, membuka dan menutup, menjatuhkan, menolak dan menarik, memegang dan melepaskan. Bayi merasa bangga dengan prestasi ini dan ingin melakukan segala sesuatu senddiri, apakah itu minyiram jamban, membuka bungkusan paket, atau memutuskan apa yang akan dimakan. Selanjutnya mereka juga dapat belajar mengendalikan otot mereka dan dorongan keinginan diri mereka sendiri.

2.2    Perkembangan Tingkah Laku Sosial Pada Masa Anak-anak Awal
Beberapa aspek penting perkembangan tingkah laku sosial yang terjadi pada masa awal anak-anak, di antaranya permaian, hubungan dengan orang lain, dan perkembangan moral.
2.2.1    Perkembangan Permainan
Permainan adalah salah satu bentuk aktivitas sosial yang dominan pada awal masa anak-anak. Sebab, anak-anak menghabiskan lebih banyak waktunya di luar rumah bermain dengan teman-temannya dibanding terlibat dalam aktivitas lain.
2.2.1.1    Fungsi Permaianan
Permainan mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan kehidupan anak-anak. Hetherington dan Parker (1979), menyebutkan tiga fungsi utama dari permaianan, yaitu:
Fungsi Kognitif permainan membantu perkembangan kognitif anak. Melalui permaian, anak-anak menjelajahi lingkungannya, mempelajari objek-objek di sekitarnya, dan belajar memecahkan masalah yang dihadapinya.
Fungsi sosial permainan dapat meningkatkan perkembangan sosial anak. Khususnya dalam permainan fantasi dengan memerankan suatu peran, anak belajar memahami orang lain dan peran-peran yang akan ia mainkan di kemudian hari setelah tumbuh menjadi orang dewasa.
Fungsi Emosi Permaianan dapat meningkatkan anak untuk memecahkan sebagian dari masalah emosionalnya, belajar mengatasi kegelisahan dan konflik batin.
2.2.1.2    Jenis-jenis Permainan
Berdasarkan observasinya terhadap anak-anak usia 2 hingga 5 tahun, Parten menemukan 6 kategori permaianan anak-anak yaitu:
1.    Permaianan Unoccupied
2.    Permaianan Solitary
3.    Permaianan Onlooker
4.    Permaianan Parallel
5.    Permaianan Assosiative
6.    Permaianan Cooperative
Sementara itu, para pakar teori kognitif mengidentifikasi 4 macam permaianan yang berkembang sejalan dengan tahap-tahap perkembangan kognitif (Seifert & Hoffnung, 1994). Keempat permainan itu adalah:
1.    Permaianan fungsional (functional play).
2.    Permainan konstruktif (contructive play)
3.    Permaianan dramatik (dramatic play)
4.    Permaianan dengan aturan (games with play)
2.2.2    Perkembangan Hubungan dengan Orang Tua
Salah satu aspek penting dalam hubungan orang tua dan anak adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Studi klasik tentang hubungan orang tua dan anak yang dilakukan oleh Diana Baumrind, 1972 (dalam Lerner & Hultsch, 1983) merekomendasikan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam tingkah laku sosial anak, yaitu otoritatif, ototiter, dan permisif.
Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting)adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak, tetapi mereka juga bersikap responsif, menghargai dan menghormati pemikiran, perasaan, serta mengikutsertakan anak dalam pengambilan keputusan.
Pengasuhan otoriter (authoritarian parenting) adalah salah satu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah orang tua.
Pengasuhan permisif (permissive parenting) gaya pengasuhan permisif dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu: pertama, pengasuhan permissive-indulgent yaitu  satu gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak, tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali atas mereka. Kedua, pengasuhan permissive-indifferent, yaitu suatu gaya pengasuhan di mana orang tua sangat tidak terlihat dalam kehidupan anak.
2.2.3    Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya
Teman sebaya (peer) sebagai sebuah kelompok sosial sering didefinisikan sebagai semua orang yang memiliki kesamaan sosial atau yang memiliki kesamaan ciri-ciri, seperti kesamaan tingkat usia (Hetherington & Parke, 1981). Akan tetapi, belakangan definisi teman sebaya lebih ditekankan pada kesamaan tingkah laku atau psikologis (Lewis & Rosenblum, 1975).
Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting ialah menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak akan menerima umpan balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya. Anak-anak mengevaluasi apakah yang mereka lakukan lebih baik, sama atau lebih jelek dari yang dilakukan oleh anak-anak lain. Mereka menggunakan orang lain sebagai tolak ukur untuk membandiingkan dirinya.
2.2.4    Perkembangan Gender
Istilah gender dimaksudkan sebagai tingkah laku dan sikap yang diasosiasikan dengan laki-laki atau perempuan. Kebanyakan anak mengalami sekurang-kurangnya tiga thap dalam perkembangan gender (Shepherd-Look, 1982). Pertama, anak mengembangkan kepercayaan tentang identitas gender, yaitu rasa laki-laki atau perempuan. Kedua, anak mengembangkan keistimewaan gender, sikap tentang jenis kelamin mana yang mereka kehendaki. Ketiga, mereka memperoleh ketetapan gender, suatu kepercayaan bahwa jenis kelamin seseorang ditentukan secara biologis, permanen, dan tak berubah-ubah.
2.2.4.1    Tren Perkembangan Gender Selama Masa Awal Anak-anak
Pada umumnya anak usia 2 tahun sudah dapat menerapkan label laki-laki atau perempuan secara tepat atas dirinya sendiri dan orang lain. Meskipun demikian, pada usia ini anak belum memahami ketetapan gender (gender constancy). Konsepnya tentang gender lebih didasarkan pada ciri-ciri fisik, seperti pakaian, model rambut attau jenis permaianan. Pada umumnya anak-anak baru mencapai ketetapan gender pada usia 7 hingga 9 tahun (Seifert & Huffnung, 1994).
2.2.4.2    Permaianan dan Aktivitas
Perkembangan gender pada masa awal anak-anak dapat dilihat dari permaianan dan aktivitas yang dilakukannya. Mereka menghubungkan gender dengan mainan, seperti permaianan mobil-mobilan adalah “untuk anak laki-laki” dan boneka “untuk anak perempuan”. Pada saat yang sama mereka mengasosiasikan jenis pakaian (rok untuk perempuan dan celana panjang untuk laki-laki).
2.2.4.3    Kualitas Personal
Berbeda dengan permaianan dan aktivitas, anak-anak prasekolah mengembangkan streotip gender tentang kualitas pribadi relatif lebih lambat.
Baru pada usia kira-kira 5 tahun anak-anak mulai mengetahui gender mana yang dianggap menjadi agresif, keras, dan kuat serta gender mana yang dianggap lembut, tenang dan lemah. Pengetahuan semacam ini terus berkembang sepanjang masa anak-anak dan remaja.
2.2.5    Perkembangan Moral
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Santrock, 1995). Melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain, anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
2.2.5.1    Perkembangan Moral
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagian struktur kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas apek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek sosial yang berisikan sistem nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan “benar” atau “salahnya” sesuatu.
2.2.5.2    Teori Belajar Sosial tentang Perkembangan Moral
Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons atas stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman dan peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak.
2.2.5.3    Teori Kognitif Piaget tentang Perkeembangan Moral
Piaget menyimpulkan bahwa pemikiran anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan atas dua tahap, yaitu tahap heteronomous morality dan autonomous morality (Seifert & Hoffnung, 1994).
Heteronomous morality dalam tahap berpikir ini, anak-anak menghormati ketentuan-ketentuan suatu permaianan sebagai sesuaatu yang bersifat suci dan tidak dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormatinya.
Autonomous morality dalam tahap ini anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum merupakan ciptaan manusia dan dalam menerapkan sutu hukuman atas suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta akibatakibatnya.
2.2.5.4    Teori Kohlberg tentang Perkembangan Moral
Teori Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan perluasan, modifikasi, dan redefinisi atas teori Piaget. Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga tingkatan, yang kemudian dibagi menjadi enam tahap. Kohlberg setuju dengan Piaget yang menjelaskan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari pengalaman. Tetapi, tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan dari anak-anak. Anak-anak memang berkembang melalui interaksi sosial, namun interakssi ini memiliki corak khusus, di mana faktor pribadi yaitu aktivitas-aktivitas anak ikut berperan.

2.3    Perkembangan Tingkah Laku Sosial Pada Masa Pertengahan dan Akhir Anak-anak
Masa akhir anak-anak merupakan suatu masa perkembangan di mana anak-anak mengalami sejumlah perubahan-perubahan yang cepat dan menyiapkan diri untuk memasuki masa remaja serta bergerak memasuki masa dewasa.
2.3.1    Perkembangan Pemahaman Diri
Menurut Seifert dan Hoffnung (1994), pemahaman diri sering juga disebut konsep diri, yaitu suatu pemahaman mengenai diri atau ide tentang diri sendiri. Santrock (1996) menggunakan istilah konsep diri mengacu pada evaluasi bidang tertentu dari diri sendiri. Sementara itu, Atwater (1987) menyebutkan bahwa konsep diri sendiri adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya. Selanjutnya, Atwater mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image, kesadaran tentang tubuhnya, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self, yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya.
Pada usia sekolah dasar, pemahaman diri atau konsep diri anak mengalami perubahan yang sangat pesat. Menurut Santrock (1995), perubahan-perubahan ini dapat dilihat sekurang-kurangnya dar tiga karakteristik pemahaman diri, yaitu (1) karakteristik internal, (2) karakteristik asspek-aspek sosial, dan (3) karakteristik perbandingan sosial.
2.3.2    Perkembangan Hubungan dengan Keluarga
Kemerosotan dalam hubungan keluarga yang dimulai pada akhir masa bayi terus berlanjut pada masa pertengahan dan akhir anak-anak. Sesuai dengan perkembangan kognitifnya yang semakin matang, maka pada masa pertengahan dan akhir, anak secara berangsur-angsur lebih banyak mempelajari mengenai sikap-sikap dan motivasi orang tuanya, serta memahami aturan-aturan keluarga, sehingga mereka menjadi lebih mampu untuk mengendalikan tingkah lakunya.
Meskipun terjadi pengurangan pengawasan dari orangtua terhadap anaknya selama masa akhir anak-anak ini, bukan berarti orangtua sama sekali melepaskan mereka. Sebaliknya, orang tua masih terus memonitor usaha-usaha yang dilakukan anak dalam memelihara diri mereka, sekalipun secara tidak langsung.
2.3.3    Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya
Barker dan Wright (dalam Santrock, 1995) mencatat bahwa anak-anak usia 2 tahun menghabiskan 10% dari waktu siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Pada usia 4 tahun, waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teman sebaya meningkat menjadi 20%. Sedangkan anak usia 7 hingga 11 meluangkan lebih dari 40% waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebaya.
2.3.3.1    Pembentukan Kelompok
Interaksi teman sebaya dari kebanyakan anak pada periode akhir ini terjadi dalam grup atau kelompok, sehingga periode ini sering disebut “usia kelompok”. Pada masa ini, anak tidak lagi puas bermain sendirian di rumah, atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan anggota keluarga. Hal ini adalah karena anak memiliki keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok, serta merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya.
2.3.3.2    Popularitas, Penerimaan Sosial dan Penolakan
Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, anak mulai mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan berbagai cara. Para ahli psikologi perkembangan telah lama mempelajari pembentukan kelompok teman sebaya dan status dalam kelompok untuk mengetahui anak-anak yang cenderung menjadi populer. Para peneliti juga telah melakukan penelitian untuk menentukan mana anak-anak yang sering sendiri dan mana yang disenangi oleh anak-anak lain. Dalam penelitian ini, mereka telah menggunakan suatu teknik yang disebut sosiometri (Hallinan, 1981). Berdasarkan informasi ini, kemudian para peneliti membedakan anak-anak atas dua, yaitu anak-anak yang populer (popular) dan anak-anak yang tidak populer (unpopular).
2.3.4    Sekolah
Menurut Seifert dan Hoffnung (1994), sekolah mempengaruhi perkembangan anak melalui dua kurikulum, yaitu accademic curriculum dan hidden curriculum. Accademic curriculum meliputi sejumlah kewajiban yang diharapkan dikuasai oleh anak. Ia membantu anak memperoleh pengetahuan akademis dan kemampuan intelektual yang dibutuhkan untuk keberhasilan berpartisipasi dalam masyarakat. Hidden curriculum meliputi sejumlah norma, harapan, dan penghargaan yang implisit untuk dipikirkan dan dilaksanakan dengan cara-cara tertentu yang disampaikan melalui hubungan sosial sekolah dan otoritas, khususnya yang berkenaan dengan peran sosial guru-siswa dan perilaku yang diharapkan oleh masyarakat.
2.3.4.1    Pengaruh Guru
Guru merupakan simbol otoritas dan menciptakan iklim kelas dan kondisi-kondisi interaksi di antara murid-murid. Oleh sebab itu sikap guru terhadap sikap mereka adalah penting, sebab guru mengambil suatu peran sentral dalam kehidupan anak-anak, yang sangat menentukan bagaimana mereka merasakan berada di sekolah dan bagaimana mereka mereka merasakan diri mereka.
Demikian pentingnya pengaruh guru terhadap kehidupan murid-muridnya, maka sejumlah ahli psikologi perkembangan dan pendidikan telah mencoba merumuskan suatu profil tentang sifat-sifat kepribadian seorang guru yang baik. Gage (dalam Zigler & Stevenson, 1993), misalnya menunjukkan beberapa sifat guru yang diasosiasikan dengan hasil murid-murid yang lebih positif, yaitu antusiasme, mampu membuat perencanaan, bersikap tenang, mampu beradaptasi, fleksibel, dan kesadaran akan perbedaan-perbedaan individual. Sementara itu, Erik Erikson, 1963 (dalam Seifert & Huffnung, 1994), menyatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang dapat menciptakan suatu sense of industry dan bukan inferiority bagi murid-muridnya. Mereka memahami bagaimana melakukan selingan antara belajar dan bermain, menghargai kemampuan-kemampuan khusus murid, mengetahui bagaimana menciptakan suatu setting di mana anak-anak merasa positif terhadap diri mereka sendiri.

2.4    Perkembangan Tingkah Laku Sosial Pada Masa Remaja
Selama masa remaja terjadi perubahan-perubahan yang dramatis, baik dalam fisik maufun dalam kognitif. Perubahan-perubahan secara fisik dan kognitif tersebut, ternyata berpengaruh terhadap perubahan dalam perkembangan psikologi sosial mereka.
2.4.1    Perkembangan Individuasi dan Identitas
Dalam psikologi, konsep identitas pada umumnya merujuk kepada suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, serta keyakinan yang relatif stabil sepanjang rentang kehidupan, sekalipun terjadi berbagai perubahan. Lebih jauh dijelaskan bahwa orang yang sedang mencari identitas adalah orang yang ingin menentukan “siapakah” atau “apakah” yang diinginkannya pada masa mendatang. Bila mereka telah memperoleh identitas, maka ia akan menyadari ciri-ciri khas kepribadiannya, seperti kesukaan atau ketidaksukaannya, aspirasi, tujuan masa depan yang diantisipasi, perasaan bahwa ia dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya.
Menurut Josselson, 1980 (dalam Seifert & Hufnung, 1994), proses pencarian identitas – proses dimana seorang remaja mengembangkan suatu identitas personal atau sense of self yang unik, yang berbeda terpisah dari orang lain ini – disebut dengan individuasi (individuation). Proses ini terdiri dari empat sub tahap yang berbeda, tetapi saling melengkapi, yaitu: diferensiasi, praktis dan eksperimentasi, penyesuaian serta konsolidasi diri.
2.4.1.1    Teori Psikososial Erikson
Erikson membagi perkembangan manusia berdasarkan kualitas ego dalam delapan tahap perkembangan. Ke delapan tahap perkembangan tersebut dapat silihat dalam tabel 2.2.
TABEL 2.2
Tahap-tahap Perkembangan Psikologi Erikson
Tahap Psikososial    Usia Kira-kira
Kepercayaan vs. Ketidakpercayaan
(Trust vs. Mistrust)

Otonomi vs. Rasa malu dan ragu-ragu
(autonomy vs. Shame and doubt)

Inisiatif vs. Rasa bersalah
(initiative vs. Guilt)

Ketekunan vs. Rasa rendah diri
(industry vs. Inferiority)

Identitas dan kebingungan peran
(ego identity vs. Role confusion)

Keiintiman vs. Isolasi
(intimacy vs. Isolation)

Generativitas vs. Stagnasi
(generativity vs. Stagnation)

Integritas ego vs. Keputusan
(ego integrity vs. Despair)
    Lahir – 1 tahun
(masa bayi)

1 – 3 Tahun
(masa kanak-kanak)

3    – 5 tahun
(masa pra-sekolah)

6 – 11 tahun
(masa sekolah dasar)

12 – 20 tahun
(masa remaja)

20 – 24 tahun
(masa awal dewasa)

25 – 65 tahun
(masa pertengahan dewasa)

65 tahun – mati
(masa akhir dewasa)
Sumber: Diadaptasi dari Jerry & Phares (1987)
2.4.1.2    Pandangan  Kontemporer
Menurut Marcia, pembentukan identitas ini memerlukan adanya dua elemen penting, yaitu eksplorasi (krisis) dan komitmen.
Dalam suatu studi empirik tentang perkembangan identitas selama masa remaja yang didasarkan pada ide-ide Erikson, Marcia menginterviu aspek-aspek penting identitas (pilihan pekerjaan, agama, dan sikap politik) dari siswa usia 8 - 22 tahun. Berdasarkan hasil penelitian ini, Marcia mencatat bahwa pembentukan identitas merupakan suatu proses yang sulit dan penuh tantangan. Dalam hal ini, Marcia (1980), mengklasifikasikan siswa dalam 4 kategori status identitas yang didasarkan pada dua pertimbangan: (1) apakah mereka mengalami suatu krisis identitas atau tidak, dan (2) pada tingkat mana mereka memiliki komitmen terhadap pemilihan pekerjaan, agama, serta nilai-nilai politik dan keyakinan. Keempat kategori itu adalah:
    Status 1 : Identitity Diffusion (penyebaran identitas)
    Status 2 : Identity Foreclosure (pencaputan identitas)
    Status 3 : Identity Moraturium (enundaan identitas)
    Status 4 : Identity Achievement (pencapaian identitas)
Marcia juga mengidentifikasi beberapa variabel yang saling mempengaruhi dalam proses pembentukan identitas yaitu; 1) tingkat identifikasi dengan orang tua sebelum dan selama masa remaja, 2) gaya pengasuhan orang, 3) adanya figure yang menjadi model, 4) harapan sosial tentang pilihan identitas yang terdapat dalam keluarga, sekolah, dan teman sebaya, 5) tingkat keterbukaan individu terhadap berbagai alternatif identitas, dan 6) tingkat kepribadian pada masa pra-adolesen yang memberikan sebuah landasan yang cocok untuk mengatasi masalah identitas (Marcia, 1993)
2.4.2    Perkembangan Hubungan dengan Orang Tua
Seiiring dengan terjadinya perubahan kognitif selama masa remaja, perbedaan ide-ide yang dihadapi sering mendorongnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai dan pelajaran-pelajaran yang berasal dari orang tua. Akibatnya, remaja mulai mempertanyakan dan menantang pandangan-pandangan orang tua serta mengembangkan ide-ide mereka sendiri. Orang tua tidak lagi dipandang sebagai otoritas yang serba tahu. Secara optimal, remaja mengembangkan pandangan-pandangan yang lebih matang dan realistis dari orang tua mereka.
Begitu pentingnya faktor keterikatan yang kuat antara orang tuaa dan remaja dalam menentukan arah perkembangan remaja, maka orang tua senantiasa harus menjaga dan mempertahankan keterikatan ini.
2.4.3    Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya
Dua ahli teori yang berpengaruh, yaitu Jean Piaget dan Harry Stack Sullivan, menekankan bahwa melalui hubungan teman sebaya anak dan remaja belajar tentang hubungan timbal balik yang simetris. Anak mempelajari prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan melalui peristiwa pertentangan dengan teman sebaya. Mereka juga mempelajari secara aktif kepentingan-kepentingan dan perspektif teman sebaya dalam rangka memuluskan integrasi dirinya dalam aktivitas teman sebaya yang berkelanjutan.
Secara lebih rinci, Kelly dan Hansen (1987) menyebutkan 6 fungsi positif dari teman sebaya, yaitu:
1.    Mengontrol impuls-impuls agresif.
2.    Memperoleh dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih independen.
3.    Meningkatkan keterampilan-keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan penalaran, dan belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara-cara yang lebih matang.
4.    Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin.
5.    Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai.
6.    Meningkatkan harga diri (self-esteem).
Meskipun selama masa remaja kelompok teman sebaya memberikan pengaruh yang besar, namun orang tua tetap memainkan peranan yang penting dalam kehidupan remaja.
2.4.4    Perkembangan Seksualitas
Terjadinya peningkatan perhatian temaja terhadap kehidupan seksual ini sangat dipengaruhi oleh faktor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas. Terutama kematangan organ-organ seksual dan perubahan-perubahan hormonal, mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual dalam diri remaja. Sebagai anak muda yang belum memiliki pengalaman tentang seksual, tidak jarang dorongan-dorongan seksual ini menimbulkan ketegangan fisik dan psikis.
Untuk melepaskan diri dari ketegangan seksual tersebut, remaja mencoba mengekspresikan dorongan seksualnya dalam berbagai bentuk tingkah laku seksual, mulai dari melakukan aktivitas berpacaran, (dating), berkencan, bercumbu, sampai dengan melakukan kontaks seksual. Dari sekian banyak tingkah laku seksual yang diekspresikan remaja, salah satunya yang paling umum dilakukan adalah masturbasi. Dalam satu investigasi yang dilakukan Haas, 1979 (dalam Santrock, 1998), ditemukan bahwa masturbasi sudah merupakan aktivitas seksual yang lumrah di kalangan remaja. Lebih dari satu per tiga remaja laki-laki dan satu setengah remaja perempuan melakukan masturbasi satu kali seminggu atau lebih.
2.4.5    Perkembangan Proaktivitas
Proaktivitas (proactivity) adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh stephen R. Covey mengenai manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Perilakunya adalah fungsi dari keputusannya sendiri, dan ia mempunyai inisiatif dan tanggung jawab untuk membuat segala sesuatunya terjadi.
Jadi, makna pertama yang terkandung dalam pengertian proaktivitas adalah kebebasan memilih. Menurut Covey (1990), di dalam kebebasan memilih ini terkandung unsur-unsur; self-awareness, imajination, conscience, dan independen will. Makna kedua yang terkandung dalam proaktivitas adalah bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengambil inisiatif. Makna ketiga yang terkandung dalam pengertian proaktivitas adalah tanggung jawab.
Salah satu upaya penting yang harus dilakukan oleh sekolah dalam mengembangkan sikap proaktif remaja adalah dengan melibatkan remaja secara aktif dalam proses belajar.
2.4.6    Perkembangan Resiliensi
Kata resiliensi sendiri berasal dari bahasa latin abad pertengahan ’resilire’ yang berarti ’kembali’. Dalam bahasa inggris, kata ’resiliency’ atau ’resilient’ biasa digunakan untuk menyebutkan suatu kondisi seseorang yang berhasil kembali dari kondisi terpuruk. Jika dilihat dari asal dan makna kata, maka resiliensi secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang terpuruk (Putrantie, 2008).
Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli behavioral dalam mengetahui, mendefinisikan, dan mengukur kapasitas individu untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih (recovery) dari kondisi tekanan (Manara Untung, 2008). Sementara itu resiliensi menurut Grotberg (2000) merupakan sebagai proses dinamis individu dalam mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat dan mentrasformasikan pengalaman-pengalaman yang dialami pada situasi sulit menuju pencapaian adaptasi yang positif .
Desmita (2005) mengatakan resiliensi merupakan kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Adanya resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan (Desmita, 2005).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang terburuk, dimana resiliensi merupakan proses dinamis individu dalam mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat dan mentransformasikan pengalaman-pengalaman yang di alami pada situasi sulit menuju pencapaian adaptasi yang positif.
2.4.6.1    Sumber Pembentukan Resiliensi
Grotberg (2000) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi seseorang. Faktor-faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumber yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan), kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self esteem, a capacity for self monitoring, spritualits dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik dan kemampuan berkomunikasi).
Grotberg (2000) mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang di identifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya digunakan istilah I Have, untuk kekuatan individu dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, dan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah I Can.
Setiap sumber dari masing-masing faktor memberikan kontribusi pada berbagai jenis tindakan yang dapat meningkatkan pencapain resiliensi seseorang. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang resilien.
2.4.6.1.1    I Have
Grotberg (2000) mengungkapkan bahwa I have merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Sebelum seseorang menyadari siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), remaja membutuhkan dukungan eksternal dan sumber daya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan, yaitu inti untuk mengembangkan reesiliensi dalam diri remaja tersebut. Sumber-sumber dari faktor I Have yang harus dikembangkan oleh remaja untuk menjadi individu yang resilien adalah :
    Hubungan yang Dilandasi Kepercayaan
    Struktur dan Peraturan di Rumah
    Dorongan Untuk Mandiri
    Role Models
    Memperoleh Layanan Kesehatan, Pendidikan, Keamanan dan Kesejahteraan
2.4.6.1.2    I Am
Grotberg (2000) mengatakan bahwa I Am merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Beberapa sumber yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkan oleh remaja adalah :
    Bangga Terhadap Diri Sendiri
    Disayang dan Disukai Orang Lain
    Percaya Diri, Optimis dan Penuh Harap
    Memiliki Empati dan Peduli Terhadap Sesama
    Mampu Bertanggung Jawab Terhadap Perilaku Sendiri dan Menerima Konsekuensinya
2.4.6.1.3    I Can
I Can merupakan kemampuan individu untuk mengungkapkan perasaan dan berpikir dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai setting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Beberapa sumber dalam faktor ini yang dimiliki oleh remaja dan harus dikembangkannya adalah :
    Mampu Mengungkapkan Pikiran dan Perasaan dalam Berkomunikasi
    Menjalin Hubungan Yang Saling Mempercayai
    Mampu Mengelola Perasaan
    Mampu Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain
    Mampu Memecahkan Masalah
Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am, dan I can. Untuk menjadi seorang yang resilien tidak cukup hanya memiliki satu faktor saja, melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lainnya (Desmita, 2005). Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus saling berinteraksi satu sama lain, interaksi ketiga faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial dimana remaja hidup (Desmita, 2005).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi memiliki faktor yang terdiri dari pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya (I Have), kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya (I Am), kemampuan individu untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal (I Can). Dimana ketiga faktor tersebut masing-masing memiliki sumber yang memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia tidak termasuk orang yang beresiliensi.

2.5    Perkembangan Tingkah Laku Sosial Pada Masa Dewasa dan Tua
Akibat perubahan Fisik yang semakin menua maka perubahan ini akan sangat berpengaruh terhadap peran dan hubungan dirinya dengan lingkunganya. Dengan semakin lanjut usia seseorang secara berangsur-angsur ia mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial para lansia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitasnya sehingga hal ini secara perlahan mengakibatkan terjadinya kehilangan dalam berbagai hal yaitu: kehilangan peran ditengah masyarakat, hambatan kontak fisik dan berkurangnya komitmen.
Menurut Erikson, perkembangan psikososial selama masa dewasa dan tua ini ditandai dengan tiga gejala penting, yaitu keintiman, generatif, dan integritas.
2.5.1    Perkembangan Keintiman
Keintiman dapat diartikan sebagai suatu kemampuan memperhatikan orang lain dan membagi pengalaman dengan mereka. Orang-orang yang tidak dapat menjalin hubungan intim dengan orang lainakan terisolasi. Menurut Erikson, pembentukan hubungan intim ini merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh orang yang memasuki masa dewasa akhir.
2.5.2    Perkembangan Generatif
Generativitas adalah tahap perkembangan psikososial ketujuh yang dialami individu selama masa pertengahan masa dewasa. Ketika seseorang mendekati usia dewasa akhir, pandangan mereka mengenai jarak kehidupan cenderung berubah. Mereka tidak lagi memandang kehidupan dalam pengertian waktu masa anak-anak, seperti cara anak muda memandang kehidupan, tetapi mereka mulai memikirkan mengenai tahun yang tersisa untuk hidup. Pada masa ini, banyak orang yang membangun kembali kehidupan mereka dalam pengertian prioritas, menentukan apa yang penting untuk dilakukan dalam waktu yang masih tersisa.
2.5.3    Perkembangan Integritas
Integritas merupakan tahap perkembangan psikososial Erikson yang terakhir. Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda-benda, orang-orang, produk-produk dan ide-ide, serta setelah berhasil melakukan penyesuaian diri dengan bebrbagai keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupannya. Lawan dari integritas adalah keputusan tertentu dalam menghadapi perubahan-perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi-kondisi sosial dan historis, ditambah dengan kefanaan hidup menjelang kematian.
Tahap integritas ini ini dimulai kira-kira usia sekitar 65 tahun, dimana orang-orang yang tengah berada pada usia itu sering disebut sebagai usia tua atau orang usia lanjut. Usia ini banyak menimbulkan masalah baru dalam kehidupan seseorang. Meskipun masih banyak waktu luang yang dapat dinikmati, namun karena penurunan fisik atau penyakit yang melemahkan telah membatasi kegiatan dan membuat orang tidak menrasa berdaya.

BAB III
PENUTUP
3.1    Simpulan
Dalam perkembangan pada masa bayi, memiliki hubungan dengan perihal keterikatan (attachment), otonomi bayi, perkembangan psikososial, temperamen, perkembangan rasa percaya, peran ayah sebagai pengasuh anak, tempat pengasuhan anak (day care), dan emosi
Perkembangan psikosoial adalah tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis, perkembangan psikososial juga berhubungan dengan perubahan-perubahan perasaan atau emosi dan kepribadian serta perubahan dalam bagaimana individu berhubungan dengan orang lain.
Menurut teori psikososial Erikson, perkembangan manusia dibedakan berdasarkan kualitas ego dalam delapan tahap perkembangan, yaitu:
Tahap-tahap Perkembangan Psikologi Erikson
Tahap Psikososial    Usia Kira-kira
Kepercayaan vs. Ketidakpercayaan
(Trust vs. Mistrust)

Otonomi vs. Rasa malu dan ragu-ragu
(autonomy vs. Shame and doubt)

Inisiatif vs. Rasa bersalah
(initiative vs. Guilt)

Ketekunan vs. Rasa rendah diri
(industry vs. Inferiority)

Identitas dan kebingungan peran
(ego identity vs. Role confusion)

Keiintiman vs. Isolasi
(intimacy vs. Isolation)

Generativitas vs. Stagnasi
(generativity vs. Stagnation)

Integritas ego vs. Keputusan
(ego integrity vs. Despair)
    Lahir – 1 tahun
(masa bayi)

1 – 3 Tahun
(masa kanak-kanak)

4    – 5 tahun
(masa pra-sekolah)

6 – 11 tahun
(masa sekolah dasar)

12 – 20 tahun
(masa remaja)

20 – 24 tahun
(masa awal dewasa)

25 – 65 tahun
(masa pertengahan dewasa)

65 tahun – mati
(masa akhir dewasa)
Sumber: Diadaptasi dari Jerry & Phares (1987)

3.2    Saran
Perkembangan sosio-emosi pada bayi menjadi hal penting yang banyak dikaji. Karena beragam hal yang dialami pada masa bayi akan membentuk pola perilaku tertentu dengan efek psikologis tertentu. Perkembangan yang terjadi pada masa bayi mempengaruhi pola perkembangan di tahap berikutnya. Untuk itu hendaklah orang tua yang memiliki bayi, memperhatikan setiap kejadian yang tengah terjadi pada masa tumbuh kembang bayi supaya bayi dapat berkembang menjadi orang yang diharapkan oleh orang tua kelak
Tugas orang tua adalah membimbing anak sehingga ia akan sampai pada penghargaan terhadap nilai-nilai. Sikap dan pandangan orang tua mengenai penampilan, kemampuan, dan prestasinya sangat mempengaruhi cara anak memandang dirinya sendiri.
Dan hendaknya orang tua harus mengutamakan menjalin hubungan yang baik dan benar dengan anak, dan menciptakan suasana yang harmonis, saling memperhatikan, saling membantu (bekerja sama) dalam menyelesaikan tugas-tugas keluarga atau anggota keluarga, dan konsisten dalam melaksanakan aturan, supaya anak memiliki kemampuan atau penyesuaian sosial dalam hubungan dengan orang lain.